Sabtu, 17 Maret 2012

Segenggam Gundah



Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter  dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah,  beras sudah habis loh...," ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah,  namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya  dari dalam rumah, "Ayah, besok Agus harus bayar uang praktek."


 "Iya...," jawab sang Ayah. Getir terdengar ditelinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya  semalam, "Besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya  menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap  anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini  tak berjinjing buah kesukaannya itu.



Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "Jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Kontan  saja SMS itu membuat teman saya bingung dan  sedikit berkelakar, "Ini, anak siapa minta susunya  ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika  SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau  tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah  mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke  kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang   belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak  yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil  yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai  sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain  yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya  tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah  bereskan," meski dadanya bergemuruh kencang dan  otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan   beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan  tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya  berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi  di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan  keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai  atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau  berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

0 komentar:

Posting Komentar